Minggu, 04 Juli 2010

Lembah yang Hidup


Waktu masih kecil, ibuku sering kali mengisahkan cerita ‘Lembah yang Hilang’, terutama jika aku bandel. Konon lembah itu adalah tempat yang bernyawa dan sudah ada sejak jaman dulu kala. Ia bergerak, berpindah tempat, dan makan layaknya makhluk hidup. Makanan utamanya itu makhluk hidup yang jiwanya sudah rusak, tersesat, dan mati. Setiap sudut bagian dan aksesoris lembah itu adalah makhluk hidup yang terperangkap dan mati. Semakin banyak jiwa yang tertangkap semakin besar dan luas lembah itu. Tak pernah diketahui ada nggak orang yang bisa selamat jika sudah terjerat di lembah itu. Sayangnya karena bentuk lembah itu sering berubah-berubah dan berpindah tempat sampai sekarang tidak diketahui letak aslinya sehingga banyak yang jadi korban. Hiiiiii, aku menggigil jika teringat cerita itu.

Karena sudah lama banget tak mendengar kabar itu, jadi ku pikir itu hanyalah mitos sampai aku mendengarnya dari cerita temanku si T yang tinggal di kota P, masih di Indonesia yang nyaris jadi korban. Dengerin dulu kisahnya.

Hi. Perkenalkan namaku Toni. Peristiwa ini ku alami waktu masih duduk di bangku SMU. Waktu itu aku lagi kumpul bareng teman-teman Gengku. Singkat cerita salah satu teman kami sebut saja namanya Yono lagi ultah. Kami berniat memberinya hadiah kejutan. Kami tahu kalau dia lagi jomblo, makanya kami berusaha nyariin temen cewek buat dia. Awalnya kami minta si Mita, satu-satunya cewek di Geng kami, untuk ngenalin temen-temen ceweknya. Tapi doski menolak karena tahu kelakuan norak bin mesum si Yono. Ya, udah kepalang tanggung, nggak ada rotan akar pun jadi. Kami mendadani si Dedi, yang kalah suit untuk nyamar jadi cewek. Sebenarnya karena iseng juga, sih mau ngerjain si Yono.

Habis itu kami ngundang di Yono di sebuah kafe untuk merayakan ultahnya trus pura-pura ngenalin si Dedi yang nyamar ama si Yono. Tapi dasar cowok muka mesum, ia langsung menggelandang Dedi pergi entah kemana gitu begitu dikenalin. Karena khawatir kami ikutin mereka dengan naik sepeda motor. Eh, nggak tahunya di tengah jalan, kami dapetin si Yono sendiri, lah mana si Dedi.
“Lho, Yon kok sendiri aja? Mana ceweknya?” tegurku
“Dah pergi, tahu deh kemana?” sahutnya sebal sambil minum coca cola zero, minuman kesukaannya di pinggir jalan.
“Kenapa cewek cakep gitu kamu biarin berlalu aja? Nggak rugi, tuh?”
“Cakep apanya? Cewek abal-abal gitu. Kamu pikir aku nggak tahu apa. Itu si Dedi yang lagi nyamar, kan? Sialan, kalian. Jahat banget sih, ngerjain temen sendiri di hari ultahnya lagi. Kira-kira, dong kalo mo bercanda. Aku kan bisa sakit hati. Mentang-mentang cuma aku yang masih ngejomblo di Geng kita, tega kalian.” Cerocosnya dongkol benget bikin kita-kita jadi nggak enak hati juga.
“Dedi pergi ke arah mana? Yuk, kita susul!” ajak Mita yang nggak langsung diiyakan kita semua. Kita males nyariin Dedi yang pergi entah ke mana, mending balik lagi ke kafe makan-makan sambil nikmatin lagu. Tadi kan kita baru dateng belum sempat makan.
“ Oh jadi begitu, ya. Dasar kalian nggak setia kawan. Aku muak dengan kelakuan kalian semua.” Rutuk Mita.
“Biasa ajalah, Mit. Dedi kan dah gede, dah bisa jaga diri sendiri.” Ujarku.
“Dasar bego, kalian nggak ingat apa? Akhir-akhir ini kan lagi ramai-ramainya sweeping para banci. Kalau Dedi ketangkep gimana, hayo? Siapa yang mau tanggung jawab? Kita ....”

Tanpa menunggu selesainya ceramah panjang Mita, kami semua langsung tancap gas menyusuri jalan, mencari keberadaan Dedi. Moga-moga tu anak nggak ketemu polisi. Moga-moga aja tu anak langsung pulang ke rumah, nggak mampir-mampir dulu. Ah sial, baru jalan sebentar kami lihat di perempatan jalan, si Dedi mau dinaikin mobil polisi. Celaka dua belas. Gimana nih? Dedi terlihat adu mulut sebelum dinaikin mobil. Si Mita, langsung lari kencang hingga nyaris ditabrak kendaraan bermotor yang melintas dan menghampiri Pak Polisi. Ia lalu menjelaskan mengapa Dedi pakai baju cewek gitu.

Ia bilang Dedi lagi main film indie yang rencananya mau ditampilin dalam lomba film indie, bertutur tentang kehidupan para waria. Untuk meyakinkan pak Polisi, Mita ngasih rekaman video di handycamenya. Untung saat itu kami sempat ngesut Dedi, sebelum ke kafe, dan untungnya lagi Pak Polisi percaya, jadi Dedi bisa bebas.

Habis itu Dedi ganti baju. Kami nggak jadi ke kafe, tapi beli makan di warung pinggir jalan lalu duduk-duduk di rerumputan sambil dengerin lagu di Tape recorder yang sengaja kami bawa. Eh, nggak dinyana ada cewek cakep banget, lebih cakep dari si Mita, ikutan gabung. Kami langsung lupa pada makanan dan ngerubungi tu cewek sambil ketawa ketiwi gitu deh. Dan dipojok sana si Mita ngedumel karena ditinggalin begitu aja. Sebagai pelampiasan, ia makan semua jatah makan kami, eh salah, minuman plus camilan kami semua.

Baru juga lagi asyik-asyiknya ngobrol, eh si cewek itu sebut namanya Indi tampak ketakutan. Ia meminta salah satu dari kami ngaterin dia gitu deh. Kami rebutan dan menentukan hasilnya dengan suit. Yang menang si Yono, jadi ia yang berhak nganterin cewek cakep itu.

Sesaat setelah Yono pergi, ada ibu-ibu yang nanyain seorang gadis dan ciri-cirinya mirip si Indi. Ia bilang anaknya sudah lama nggak pulang hampir sebulan. Kerjaannya dugem, mabuk-mabukan dan nyuri uang ortu. Kami yang merasa nggak enak, nganterin ibu itu nyariin anaknya itu. Di tengah jalan kami lihat si Yono yang motornya ngadat.
“Yon, mana si Indi?”
“ Itu ke arah sana.”. Ia menunjuk sebuah lembah yang dibiarkan terlantar dan ditumbuhi rumput liar. Kami sebenarnya males ke sana, karena selain terlantar, jarang dirambah, jalannya juga becek dan berlumpur, sepertinya rawa-rawa gitu deh. Tiba-tiba terdengar suara Indi teriak dari arah lembah.

Kami segera berlari ke sana. Kami lihat Indi terbelit lumpur berwarna kuning keemasan seperti cairan permen warna-warni yang meleleh. Rumput-rumput liar berubah jadi cairan lengket. Kami tertegun menyaksikan peristiwa ganjil itu. Ingin menolong, tapi tak berani mendekat. Cairannya panas banget, Bro dan bergolak. Ku pikir seperti inilah neraka nanti. Kami nggak yakin si Indi bisa selamat dari sana.

“Ibu, toloooooong…. Tolongin Indi, Bu.” Ia teriak meminta pertolongan. Sebenarnya kami iba, tapi karena takut mendekati rawa yang penuh cairan lengket dan panas, jadi kami tidak bergerak. Kami diam di tempat seperti patung. “Bu….., Maafin semua kesalahan Indi. Indi sudah bikin ibu susah selama ini. Indi janji, Indi nggak akan ngulang lagi.” Teriaknya menyayat hati putus asa, saat cairan itu sudah menenggelamkan hampir separo badannya. Ia yakin ia akan tewas saat itu juga, makanya itu ia meminta maaf pada ortunya.

Tak tega melihat anaknya celaka, Ibu Indi yang sudah sepuh terjun ke lembah yang telah berubah menjadi cairan lengket berwarna kuning keemasan semuanya. Ia berusaha meraih tangan putri satu-satunya itu. Seperti tersadarkan, kami membantu mereka berdua, menarik tubuh ibu Indi hingga akhirnya tubuh Indi terangkat dari lumpur hidup itu. Kami menarik tubuh mereka ke tepian. Indi menangis sesenggukan di dada ibunya kayak anak kecil. Ia tak malu dilihat kami. Yah, namanya juga orang yang baru selamat dari bencana, wajar aja kalo agak-agak melo. Mungkin kami pun akan melakukan hal yang serupa.

“Eh, lihat lumpurnya hilang. Sebetulnya tadi itu apa?” tegur Mita sambil menunjuk kubangan cairan panas kuning keemasan berubah menjadi kebun terlantar lagi dan benar cairan kuning keemasan lengket dan panas itu menghilang bak di telan bumi, seakan-akan tak pernah ada. Hanya cairan yang masih melekat pada tubuh kamilah yang jadi bukti peristiwa ini nyata bukan mimpi.

“Itu namanya lembah yang hilang. Konon lembah itu makan jiwa makhluk hidup yang sakit, tersesat dan rusak. Anak yang durhaka pada orang tua jelas jadi makanan lezat untuknya.” Ujar ibu Indi.

Ini jadi pelajaran bagi kami, agar tidak durhaka pada orang tua khususnya ibu. Bisa saja kejadian serupa menimpa kami dan sungguh suatu keberuntungan belaka si Indi bisa selamat. Mungkin karena ibunya memaafkan semua kesalahan2nya dan juga beliau sendiri yang nyelamatin. Belum tentu ortu kami mau. Sepertinya mereka sudah angkat tangan dengan segala kebadungan kami.

Ah, kami jadi teringat pada emak kami yang di rumah yang senantiasa sabar mendidik dan menyediakan keperluan kami, meski kami jarang membantu meringankan beban pekerjaannya. Setelah ini kami berjanji lebih berbakti pada ortu.

Pertanyaannya peristiwa ini Nyata atau Rekaan?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda