Minggu, 04 Juli 2010

Sang Pengembara Abadi


Kamu suka hobi menjelajah alam nggak? Perjalanan ( jalan kaki, lho ya. Nggak pake kendaraan model apapun. Hanya tas ransel bersisi perbekalan, senter, kompas, peta dan tongkat yang jadi senjata andalan.). Biasanya untuk orang yang hobi menjelajah alam khususnya daerah-daerah terpencil yang jarang dirambah oleh manusia, ia sering menemui cerita-cerita aneh yang ada hubungannya dengan alam gaib. Cerita ini dialami oleh temenku A yang tinggal di kota B dan hobi banget menjelajah alam. Ini kisahnya, selamat menikmati.
Hari ini aku apes banget. Biasanya aku bisa dengan mudah menemukan temen2 seperjalanan menjelajah alam, tapi tumben2 an kali ini nggak ada satu pun yang mau ku ajak. Mereka menolak dengan alasan macam-macam. Padahal aku lagi semangat-semangatnya ingin berjalan-jalan di alam terbuka, jadi ya aku nekat berangkat seorang diri.
Sudah seharian ini aku berkeliling hutan, tapi entah kenapa belum juga menemukan jalan keluar. Aku seperti berputar-putar di tempat yang sama sejak tadi. Peta yang ku jadikan pegangan sepertinya sama sekali tidak up to date. Kondisi di lapangan jauh beda dengan yang digambarkan di peta. Di peta, hutan ini tidak begitu luas, dijelajahi sehari saja sudah bisa keluar hutan. Di peta juga terlukis jalan setapak yang biasa dilewati para pencari kayu bakar, tapi seharian ini berjalan aku tak juga ketemu jalan setapak apalagi pinggiran hutan. Justru aku merasa hutan ini seperti hutan perawan yang jarang dirambah orang. Banyak pohon langka yang jarang ku jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Aku sempat memotretnya dan mengambil beberapa helai daun untuk menambah koleksi daunku di album daun yang ku buat 2 tahun yang lalu. Sinar matahari yang biasanya mampu menerobos hutan buatan ini juga tak nampak, tertutup rimbunnya dedaunan dan batang yang menjulang tinggi besar, seperti ingin menggapai langit.
Aduh, capek banget, kakiku pegal semua, mana bentar lagi malam tiba, bisa berabe nanti urusannya. Tetua pinisepuh yang dituakan dan dihormati di desa pinggiran hutan telah memperingatkan aku agar segera keluar dari hutan ini sebelum malam menjelang, berbahaya katanya. Hanya sayangnya ia tak mengatakan apa bahayanya. Tapi bukan itu, sih yang aku khawatirin. Aku cemas karena perbekalanku sudah menipis. Air yang ku bawa tinggal beberapa tetes dan sampai detik ini aku belum menemukan sumber mata air. Tenggorokanku kering banget, tapi aku nggak berani minum sebelum mendekati sumber air, takut kehabisan kecuali kalo dah nggak kuat lagi menahan haus.
“Ah, sepertinya aku mendengar suara kecipak air.” Seruku girang campur lega. Aku bergegas mencari sumber suara dan betul dugaanku. Lima menit kemudian aku sampai di danau di tempat terbuka yang airnya jernih banget. Aku menciduk air di pinggiran sungai, dekat akar-akar pohon dengan kedua tanganku untuk menghilangkan dahaga. Setelah itu baru aku mengisi botol air yang isinya bentar lagi habis dan mengaso sebentar di bawah pohon rindang tak jauh dari danau, melepas penat.
“Sebaiknya aku wudhu sekarang, mumpung masih ada waktu sholat Ashar sekalian buat Maghrib, ntar kalo dah gelap susah wudhunya.” Ku paksakan kakiku yang masih pegel semua, mendekati danau kembali. Aku mengambil air wudhu dan menggelar kain di dataran yang agak rata dan mulai khusyuk menghadap pada Sang Pencipta. Selesai salam, aku mendengar suara langkah kaki mendekati danau. Ada beberapa orang ternyata yang juga tersesat, sama halnya denganku.
“Wah, untung kita menemukan sumber air, air kita sudah hampir habis, nih?” terdengar suara merdu dari seorang cewek manis nan mungil dari balik rombongan yang baru datang dan terdiri dari 7 orang itu. Sepertinya ia satu-satunya cewek dalam rombongan itu. Manis juga orangnya, agak-agak mirip dengan Dee, temen seSMAku yang sering ku godain. Aku senang menggodanya karena lucu dan menggemaskan terutama reaksinya yang sangar tiap ku goda. Makin kesal dia, makin senang aku. Meski senang godain, sebenarnya aku sayang ama dia. Ia sudah ku anggap seperti adikku sendiri.
“Hai, boleh kenalan? Aku Andre dari SMU 2. Kalian rombongan dari mana?” ujarku sambil mengulurkan tangan. Karena tidak ada sambutan aku melanjutkan penjelasanku. “Aku menjelajah hutan ini seorang diri karena teman-temanku nggak ada yang mau ku ajak. Mereka lagi sibuk mempersiapkan diri ikutan acara perkemahan Akbar seProvinsi Jateng yang diadakan Perhutani. Aku sudah menjelajah hutan ini seharian, tapi tak juga menemukan jalan keluar. Mungkin kita bisa jadi partner seperjalanan?”
“Aku Iksan, ketua rombongan. Anak yang tinggi itu Siswanto, yang gendut Anang, sebelah kanannya namanya Ali. Trus anak yang rambutnya keriting Dolis dan di sebelahnya Lasminto. Ini Ika, satu-satunya cewek di tim kami. Selamat bergabung, Bung.” Ujarnya ramah. Aku sambut uluran tangan tanda persahabatan darinya.
Setelah berramah tamah, kami melanjutkan perjalanan. Aku mengikuti peta yang dibawa Iksan karena lebih bisa dipercaya. Menurut peta jalan keluar hutan ini sudah dekat, yakni harus menyeberangi danau itu, kami tak tahu namanya cos di peta tidak ditunjukkan namanya. Kami keliling mencari rakit or sampan, kali aja ada orang yang pernah buat, meski aku nggak yakin, sih. Di hutan gini mana ada rakit, apalagi sampan. Eh nggak tahunya dugaanku salah. Mungkin dulu ada yang suka mengelilingi danau dengan jukung, jadi repot2 bikin. Tapi aku tetap merasa ada yang aneh, tapi aku tak ingat. Ah, sudah lupakan. Masih untung ada jukung yang bisa membawa kami keluar dari hutan Sialan ini. Ups, Sory, aku mengumpat. Otakku mungkin agak ngehank gara-gara terlalu lama dalam hutan tanpa asupan nutrisi yang cukup.
Dolis menemukan dua jukung yang masih layak pakai, tapi hanya bisa memuat 6 orang jadi ada 2 orang yang tidak kebagian. Aku mencoba mencari jalan karena nggak ingin ada pertengkaran. Aku yakin kalau dibiarkan sebentar lagi pasti mereka akan bertengkar, ribut soal siapa yang akan ditinggal dan aku nggak yakin ada yang mau ngalah. Lebih gawat lagi kalo mereka bertekad saling bunuh hanya demi mendapat kesempatan selamat. terkadang dalam keadaan seperti ini, orang jadi tidak berperikemanusiaan dan tak perduli dengan orang lain, yang penting dia selamat. Orang pertama yang ditinggal pasti aku karena aku kenalan baru, masalahnya siapa yang kedua itu. Ku lihat ada beberapa batang kayu yang lumayan besar dan kuat, bisa dijadikan rakit di sekitar pinggiran danau.
“Kita buat rakit aja dari batang-batang pohon yang berserakan. Kalian bawa tali, kan?” ujarku yang disambut anggukan kepala mereka. “Kok, lemes, kalian belum makan?” lanjutku saat tak ada yang bergerak mengumpulkan batang kayu dan lagi-lagi mereka menganggukkan kepala.
Deuh, trenyuh rasa batin ini. Ku bagikan rotiku dan indomie 2 bungkus untuk mereka untuk mengganjal perut mereka sementara waktu sebelum keluar dari hutan ini. Tak apa aku nggak makan, toh tadi aku masih kuat menahan lapar, nggak kayak mereka yang kelihatan pucat pasi. Aku malah khawatir mereka pingsan di sini, lalu mati kelaparan. Hiiii, syerem. Mereka lahap makan bekalku sedangkan aku bersama Dolis yang pendiam, tapi ringan tangan membuat rakit dan dayung darurat. Ia yang paling cepat makan, jadi bisa segera membantuku.
“Kita mesti cepat-cepat pergi, nih. Keburu malam. Tetua di desa pinggiran hutan berpesan agar aku segera kembali sebelum malam. Bahaya, katanya. Siapa tahu ada hewan buas atau ular berbisa.” Ujarku begitu selesai membuat rakit.
Aku dan Dolis naik rakit, sementara Ika, Anang dan Iksan di jukung sebelah kiriku sedangkan Ali, Siswanto dan Lasiman di jukung sebelah kanan. Orang-orangnya terdiri dari campuran orang yang tak bisa berenang di tengah, yang lumayan bisa berenang dan yang jago berenang mengapit, di ujung jukung. Kami sengaja mengapit rakit, jaga-jaga kalau sewaktu-waktu rakitnya rusak atau talinya lepas jadi bisa segera diatasi. Aku juga mengikat botol-botol aqua di tubuh Dolis yang tak bisa berenang sebagai pelampung darurat sedangkan aku tak memerlukannya karena sudah jago berenang. Secara aku dulu dibesarkan di daerah pantai jadi biasa berenang di laut.
Awal perjalanan kami menyeberangi danau tak begitu ada masalah. Semua lancar-lancar saja. Tiba-tiba ku lihat langit gelap. Aku khawatir turun hujan deras disertai angin kencang, membuat air danau bergolak seperti di lautan. Aku segera mengambil tali di tasku yang belum ku pakai, mengikat badanku dengan Dolis. Tali sisanya ku bagikan pada penghuni jukung lainnya.
“Cepat kalian ikat talinya, aku khawatir ada badai. Tali ini untuk menjaga agar kalian tidak terpisah, satu dengan yang lainnya jadi bisa saling membantu. Cepetan sebelum badai datang.” ujarku agak kesal karena mereka lamban mengikuti intruksiku.
Hujan deras tercurah dari langit bak air bah disertai angin menderu-deru kencang membuat danau bergolak, bergelombang bak di lautan lepas. Kami berusaha mendayung sekeras mungkin mencoba mencari tepi danau. Bisa berbahaya kalau kami tetap di danau, ancaman tenggelam sudah pasti. Sialnya lagi di saat-saat dibutuhkan begini senterku mati, jadi praktis kami tak bisa melihat apa-apa, hanya kegelapan yang menyelimuti kami. Celaka dua belas.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” teriak Ika ketakutan saat jukung oleng yang juga diikuti jukung lainnya. Mereka panik karena tiba-tiba terjun ke dalam air yang bergolak seperti pusaran air sehingga lupa ada yang bisa berenang. Salah satu dari mereka berusaha membalikkan jukung, tapi tak kuasa karena tak didukung yang lainnya. Anak yang tak bisa berenang, sudah megap, nyaris tenggelam. Lebih parahnya lagi ada orang yang mencoba naik rakit kecil kami. Kalau begini keadaannya kami bisa tenggelam semua.
“Hentikan, jangan naik rakit ini, nanti kita bisa tenggelam semua. Jukungnya tak usah dibalik, nanti saja. Bantu anak yang tak bisa berenang, jangan sampai tenggelam di dalam air, nah gitu bagus.” Ujarku memberi intruksi. “Kalian pegang jukung yang terbalik itu erat-erat lalu gerakkan kaki kalian dan dorong maju. Jangan panik, kalian terikat satu sama lain. Aku dan Dolis sudah memegang ujung tali kalian, tak akan kami lepas, jadi jangan takut. Kalian focus saja, pegangan pada jukung masing-masing.” Lanjutku setelah mereka tenang dan anak yang tak bisa berenang itu terangkat di permukaan air.
Aku berdo’a dalam hati, memohon pertolongan-Nya. Kalaupun seandainya aku tak bisa selamat, minimal aku bisa mati dengan damai karena pembaringanku yang terakhir di tempat favoritku, yakni hutan. I love u Hutan forever. Aku hanya berharap mereka atau salah satu dari kami bisa selamat agar bisa memberi tahukan kondisi kami pada keluarga kami. Teringat wajah kedua orang tuaku khususnya ibu, yang sejak awal melarang aku pergi, tapi aku nekat, di pelupuk mata. Aku ingin sekali bertemu dengan beliau, mencium telapak kakinya, memohon ampunannya atas segala kebandelanku.
Seperti diijabahi, di langit terdengar suara petir menyambar menerangi danau beberapa saat. Ku lihat tepi danau terdekat dari kami. Aku mengikat ujung tali mereka di rakit. Aku bersama Dolis, mendayung sekuat tenaga dibantu gerak kaki yang lainnya ke tepian. Kami berpacu dengan angin dan dinginnya guyuran air hujan. Tak kami hiraukan rasa ngilu di tubuh kami. Jika kami menyerah saat ini, kami pasti tewas semua. Asa ingin hidup menyuntikaan energy tak terbatas, membuat kami mampu mengalahkan segala rintangan.
Selama hampir 4-5 jam, aku tak begitu tahu karena nggak lihat jam dan bagiku seolah bertahun-tahun, tapi normalnya sekitar itulah kami berjuang keras mendayung, bertarung melawan hujan dan angin, akhirnya usaha kami membuahkan hasil. Kami sampai di tepian. Kami memeras baju kami yang basah kuyub. Dengan langkah gontai kami berjalan, menembus hutan, mencari tempat yang agak datar dan terbuka untuk tempat mendirikan tenda (Aku sih bawa tenda yang hanya bisa dihuni maksimal 2 orang. Aku berharap mereka juga.), syukur-syukur ketemu jalan keluar. Kami paksakan berjalan, meski dingin dan kantuk menyerang. Terlalu riskan tidur di sini. Mungkin kami bisa selamat di danau, tapi hewan melata dan hewan buas yang berkeliaran di malam hari yang mengintai di balik pohon???? Kami nggak yakin bisa selamat.
Aku berjalan paling depan, karena lebih hafal jalan. Entah bagaimana aku mulai bisa mengenali hutan ini kembali. Aku bahkan menemukan jalan setapak yang biasa dilewati para perambah hutan. Hatiku girang tak terkira. Belum pernah aku merasa sesenang ini seumur hidup mengabdikan diri pada alam. Aku yakin kami semua bisa selamat. Mungkin kami bisa minta bantuan penduduk setempat.
Saat menjelang fajar, hujan sudah berhenti turun. Dalam hati agak heran, kok di musim kemarau gini ada hujan badai ya. Dan rasanya tadi itu bukan seperti danau tapi beneran di laut lepas, pake ada acara gelombang pasangnya segala, cuma minus air asin aja. Samar-samar aku mulai mencium bau udara pagi nan sejuk, dan alunan suara azan Shubuh. Jadi perumahan penduduk sudah dekat.
Tapi aku heran sekali kok pas aku balikin badan, tak ada satupun orang yang ada di belakangku. Apa jalanku terlalu cepat, sehingga mereka tertinggal? Perasaan tadi ada suara gemerisik langkah kaki mengikutiku. Entah sejak kapan suara itu menghilang, kok aku tak menyadarinya sama sekali. Sebaiknya aku tunggu mereka beberapa menit baru nanti aku turun ke kampong minta bantuan. Bahaya kalo nekat masuk sendiri, nanti kesasar lagi kayak tadi.
Hampir sejam lebih aku menunggu mereka. Sampai sang surya pagi keluar dari peraduannya aku masih menunggu, tapi batang hidung mereka tak jua muncul. Aku nyaris ketiduran, sehabis sholat shubuh, sembari menunggu mereka. Akhirnya dengan berat hati ku putuskan turun ke kampong. Aku tinggalkan tasku berisi tenda, dan kotak P3K untuk mereka, di ujung jalan setapak agar mudah dicari. Aku juga membuat tanda berupa ikatan slayer di ranting pohon. Siapa tahu mereka sudah tiba setelah aku turun ke kampong. Mereka bisa menggunakan perbekalanku, kalo aku gampanglah, aku bisa mengatasinya.
Sesampainya di kampong, aku mencegat langkah kaki bapak-bapak yang mau ke sawah. “maaf mengganggu sebentar. Bisa saya minta waktunya sebentar saja. Namaku Andre. Aku dan rombonganku tersesat di hutan itu.” Ujarku seraya menunjuk hutan jati yang berdiri rapat di ujung sana. “Dari 8 orang hanya aku yang selamat, beberapa temenku sepertinya masih tertinggal di dalam hutan. Bisa tolong bantu saya mencari. Tolonglah, Pak. Kami butuh banget bantuan bapak-bapak….”lanjutku menghiba, memelas, mengetuk hati nurani bapak-bapak itu.
Mereka saling pandang, bingung. Setelah berdiskusi dengan beberapa orang setempat yang juga sama-sama mau ke sawah. Kami memutuskan berrembuk dulu dengan aparat desa. Mereka memberiku sarapan karena kelihatannya aku kelaparan. Sekitar jam 7, dan matahari sudah terang-benderang, baru kami sepakat mencari rombonganku yang hilang. Sampai di tepi hutan ranselku masih ada di tempat semula, tak bergeser seincipun, ini berarti mereka masih belum keluar dari hutan. Rasa was-was mencekengkram ulu hati. Kalau terjadi sesuatu dengan mereka…., ah tidak aku tak berani membayang hal-hal buruk menimpa mereka. Aku menolak memikirkannya.
Aku berusaha mengambil slayer di ranting pohon. Pas ku periksa ternyata ada tulisan warna merah darah yang sudah mengering. “Terima kasih. Kau telah membantu kami menemukan jalan keluar. Kami senang bisa mengakhiri perjalanan panjang menjelajah hutan selama berpuluh-puluh tahun yang selalu berakhir tragis. Kami saling menikam untuk menyelamatkan diri sendiri, seperti orang-orang pendahulumu. Hanya kamu yang berhasil sempai tujuan. SELAMATTTTTTTT. TTD Dari partner perjalananmu.”
‘Deg’, jantungku seperti berhenti berdetak. Jika mereka sudah puluhan tahun berada di hutan, seharusnya usia mereka saat ini sudah sepuh atau sudah meninggal bukannya berpenampilan anak muda. Jadi semalam aku menjelajah hutan bersama…….. Aku tak ingat lagi kejadian sesudahnya karena pandangan mataku buram sebelum jatuh ke tanah.
Saat sadar, aku sudah ada di bale-bale di sebuah rumah dikerumuni beberapa penduduk desa yang penasaran. Dari merekalah akhirnya aku tahu sosok asli kawan seperjalananku itu. Mereka adalah para penghuni danau kematian yang jadi korban danau kematian.
Danau ini diberi nama danau kematian karena sering menyanyikan kidung kematian untuk menjerat korban. Danau ini sebenarnya sudah hilang keberadaannya ratusan tahun yang lalu dari peta, tapi sering muncul saat malam menjelang, mengecoh dan menyesatkan para penjelajah hutan sehingga korban banyak berjatuhan. Danau ini sering nampak di areal alas roban yang membujur sepanjang pesisir utara dari Jateng hingga Jatim. Berkat menipisnya alas robanlah, jumlah korban semakin berkurang.
Para korban danau kematian terus bergentayangan saat malam menjelang karena mengira dirinya masih hidup untuk menyelesaikan akhir pengembaraan. Orang yang berangkat menembus hutan dan tak kembali lagi sebelum malam, tak pernah ditemukan dalam keadaan hidup. Bahkan jasadnya pun tidak. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Karena itu suatu berkah jika ia bisa selamat.
Sejak kejadian itu aku tak pernah absen meninggalkan ibadah sholat dan selalu memohon restu ortu agar tidak terjadi apa-apa saat menjelajah alam. Oh,ya foto dan daun yang ku koleksi dari hutan itu mendadak hilang. Aku sih agak merasa menyesal karena aku ingin memiliki koleksi daun tanaman langka itu. Tapi syukur penduduk desa ternyata ada yang memiliki tanaman langka itu jadi bisa aku abadikan, bahkan aku tanam di pekarangan rumah sebagai pelajaran di kemudian hari.

Pertanyaannya Apakah Kisah ini Real atau Rekaan?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda